Merupakan satu kepastian bahwa kehidupan yang baik membutuhkan
perjuangan. Harapan menumbuhkan semangat dan kekuatan, sementara
angan-angan hanyalah melalaikan dan menyulut kemalasan.
Allah
telah memilih para ksatria yang berjibaku dalam jihad fi sabilillah.
Sekumpulan manusia yang mendambakan syahid di jalan-Nya. Mereka
meninggalkan kelezatan dan kemegahan dunia, bergegas menuju gelanggang
pertempuran. Tak lain, berjuang demi tegaknya Islam di muka bumi. Upaya
menapaki bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan aksi
brutal mengatasnamakan agama.
Mereka tak menghiraukan jauhnya
diri dari keluarga, sabetan pedang, luka yang menganga, maupun gugurnya
teman seperjuangan. Sedari dulu, perjuangan membutuhkan pengorbanan.
Teguh di saat menghadapi beratnya perjuangan, sabar di kala musibah
mendera. Mereka benar-benar yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah
subhanahu wa ta’ala adalah lebih baik dan kekal.
SEKILAS TENTANG PERANG QADISIYYAH
Qadisiyyah merupakan sebuah daerah di sebelah timur sungai Eufrat.
Memiliki banyak kebun kurma dan aliran irigasi. Pintu gerbang kerajaan
Persia Majusi (penyembah api) pada masa lampau. Adapun saat ini,
Qadisiyyah terletak di barat daya Hillah dan Kufah, bagian tengah negara
Irak.
Perang ini merupakan pertempuran terbesar yang belum
pernah terjadi sebelumnya di Irak. Sejumlah kisah keberanian dan
pengorbanan yang mendebarkan hati menghiasi insiden bersenjata ini.
Peristiwa monumental tersebut berlangsung pada tahun 14 H, pada masa
khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
LATAR BELAKANG PEPERANGAN
Setelah gugurnya panglima Abu ‘Ubaid pada pertempuran di jembatan
sungai Eufrat, ditambah dengan pengkhianatan kaum kafir Irak pada masa
itu, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertekad memimpin ekspansi militer menuju
Irak. Di tengah perjalanan, digelar majelis musyawarah militer. Para
sahabat senior menyetujui kepemimpinan ‘Umar, kecuali ‘Abdurrahman bin
‘Auf radhiyallahu ‘anhu.
Beliau radhiyallahu ‘anhu berujar:
“Aku khawatir apabila engkau kalah, maka kaum muslimin di seluruh
penjuru bumi akan melemah. Aku mengusulkan agar engkau menunjuk seorang
panglima, sementara engkau kembali ke Madinah.”
Kemudian ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Menurut pendapatmu, siapa orang yang tepat sebagai panglima perang di Irak?”,
‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Aku telah menemukannya.”
‘Umar radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya: “Siapa dia?”,
“Singa yang menerkam dengan kukunya, Sa’ad bin Malik Az-Zuhri!”, tegas ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu.
‘Umar pun membenarkan hal itu, lalu segera mengutus Sa’ad beserta bala
tentaranya menuju Irak yang termasuk teritorial imperium Persia.
Sa’ad bin Malik sendiri lebih dikenal dengan nama Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
STRATEGI PASUKAN ISLAM
Dengan sigap, Sa’ad mengerahkan tentaranya, untuk bergabung dengan
pasukan Al-Mutsanna bin Haritsah di sana. Namun, sebelum kedua pasukan
bertemu telah terdengar berita meninggalnya Al-Mutsanna. Lengkaplah
jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 prajurit. Di dalamnya terdapat 70
veteran perang Badar 300 sahabat nabi yang mengikuti Fathu Mekkah, dan
700 putra sahabat nabi.
Garda depan dipimpin oleh Zahrah bin
‘Abdullah, sayap kanan di bawah komando Jarir bin ‘Abdullah Al-Bajali
radhiyallahu ‘anhu, dan sayap kiri diatur oleh Qais bin Maksyuh
radhiyallahu ‘anhu. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan
Islam adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar
mengomentari: “Demi Allah, aku akan mempertemukan para raja non Arab
dengan raja-raja Arab.”
STRATEGI PASUKAN KAFIR PERSIA
Sampailah pasukan Islam di Qadisiyyah dan menetap selama satu bulan.
Maka rakyat Persia segera melaporkan tindakan kaum muslimin tersebut
kepada Yazdigird, raja Persia kala itu.
Kemudian, Yazdigird
mengirim parade militer berskala besar ke Qadisiyyah. Bataliyon gabungan
artileri-kavaleri ini di bawah komando panglima senior yang bernama
Rustum.
Mereka berangkat membawa 12.000 personil. Garda depan
dipimpin Jalinius, pertahanan belakang diatur oleh Al-Bairuzan, sayap
kanan dipimpin Hurmuzan, adapun sayap kiri dipegang oleh Mihran.
Persia semakin congkak tatkala diperkuat oleh 33 gajah. Setiap gajah
menarik gerbong yang membawa 20 serdadu beserta peti persenjataan. Musuh
menempatkan 18 gajah pada lini tengah pasukan, di antaranya seekor
gajah putih milik raja yang paling besar di garis terdepan. Adapun 15
gajah lainnya pada posisi sayap kanan dan kiri pasukan. Sebuah taktik
tempur yang membahayakan.
SATUAN INTAI DAN TEMPUR
Satuan
intelijen dikirim guna menjalankan misi spionase atas musuh. Di antara
mereka adalah Thulaihah Al-Asadi. Beliau memacu kudanya menempuh
perjalanan sejauh enam mil menyusup ke dalam barisan musuh, dan
mendapatkan data akurat.
Thulaihah berhasil menewaskan dua
komandan senior Persia, yang mana kekuatan masing-masingnya setara
dengan 1.000 serdadu. Beliau juga menawan seorang komandan senior
lainnya untuk dihadapkan kepada Sa’ad. Tawanan tersebut justru
menceritakan sepak terjang Thulaihah yang menakjubkan, lalu
menginformasikan bahwa musuh berkekuatan 120.000 personil dan di
belakangnya terdapat jumlah pasukan yang sama. Setelah itu tawanan
tersebut masuk Islam dan Sa’ad memberinya nama Muslim.
PERUNDINGAN SEBELUM MELETUSNYA PERTEMPURAN
Di saat kedua kubu saling berhadapan, Sa’ad mengutus Al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Beliau segera datang dan langsung duduk di
sisi Rustum. Hal ini membuat para pembesar Persia berang, namun dengan
tenang beliau menjawab: “Sesungguhnya duduk di singgasana ini tidaklah
meninggikan kedudukanku, dan tidak pula mengurangi kedudukan panglima
kalian.”
Setelah itu Rib’i bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu diutus
menemui Rustum. Bersamaan dengan itu, musuh telah menghiasi tenda dengan
berbagai perhiasan yang menyilaukan mata. Mereka meletakkan sejumlah
bantal berajut benang emas serta permadani yang terbuat dari sutera.
Rustum sendiri memakai mahkota tengah duduk di atas singgasana yang terbuat dari emas.
Di sisi lain, Rib’i bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu datang menaiki seekor
kuda pendek. Beliau masuk tenda dengan tetap mengenakan baju besi dan
senjatanya. Namun, kedua perundingan ini berakhir tanpa membawa hasil.
BERKOBARNYA API PERTEMPURAN
Menjelang pecahnya pertempuran, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu tertimpa
penyakit bisul di sekujur tubuhnya. Keadaan ini menghalangi beliau untuk
memacu kudanya.
Pintu benteng sendiri tidak ditutup
menunjukkan keberanian Sa’ad. Dari atas benteng, beliau mengatur pasukan
dalam keadaan bersandar di atas dadanya yang terletak di atas bantal.
Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menghadirkan para pemuka kaum, jagoan perang,
dan penyair sebagai upaya mengobarkan ruh jihad tentara Islam.
Beliau radhiyallahu ‘anhu juga memerintahkan agar dibacakan ayat-ayat
jihad dari surat Al-Anfal. Hal ini membawa ketenangan bagi pejuang
Islam. Mereka mengetahui kemenangan bukan dinilai dari kekuatan pasukan.
Kemenangan adalah karunia dan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Di sisi lain, Persia mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat
dengan rantai besi agar tidak melarikan diri. Rustum sendiri mengenakan
dua lapis baju besi. Rustum sempat mengalami mimpi buruk tentang
kekalahan pasukannya. Dia adalah seorang dukun yang mengetahui ilmu
perbintangan. Dia pun bersedih, namun ia menyembunyikan hal itu.
Seusai shalat zhuhur, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan takbir
pertama, seluruh prajurit bertakbir dan menyiapkan diri. Takbir kedua,
mereka kembali bertakbir dan bersiap dengan senjatanya. Takbir ketiga
dikumandangkan, merekapun serempak bertakbir sembari bersiap memacu
kuda-kuda. Dan setelah pekikan takbir keempat, seluruh prajurit
menggempur barikade Persia hingga malam tiba, ibarat singa-singa garang
yang memburu mangsanya. Bahkan singa saja tidak segarang mereka. Di hari
itu, banyak korban berjatuhan dari pihak Islam. Gajah-gajah Persia
membuat takut kuda-kuda Arab hingga lari darinya.
Pertempuran
berkobar pada pagi hari kedua hingga larut malam. Al-Qa’qa’ bin ‘Amr
memerintahkan agar memberikan kostum menyeramkan pada sejumlah unta
Arab. Hal ini membuat kuda Persia ketakutan.
Sementara itu,
bantuan pasukan Islam datang dari Syam sebanyak 6.000 personil. Tentara
Islam benar-benar bertempur dengan gagah berani hingga larut malam. Di
saat pergantian hari, kaum muslimin mengubur jenazah pejuang dan
memindahkan prajurit yang terluka parah. Adapun mayat-mayat serdadu
Persia dibiarkan bergelimpangan.
Pada pagi hari ketiga, mereka
kembali berperang hingga sore hari. Tak terdengar pada hari itu
melainkan suara pedang-pedang yang beradu. Sampailah pertempuran pada
hari keempat. Milisi militan Islam berhasil melukai dan membunuh
sejumlah gajah pasukan Persia.
AKHIR DARI PERTEMPURAN
Permukaan bumi Qadisiyyah bersimbah darah. Api perang terus berkobar.
Para pejuang Islam terus maju menggempur barikade musuh. Matahari
tergelincir siang itu, tiba-tiba berhembus angin kencang
memporak-porandakan tenda-tenda Persia, termasuk tenda milik Rustum.
Suasana menjadi samar tak jelas dipenuhi debu. Rustum hendak melarikan
diri namun tewas terbunuh. Nasib serupa juga menimpa Jalinius.
Akhirnya, pasukan penyembah api itu mengalami kekalahan telak dan lari
tercerai-berai. Para pejuang Islam dengan leluasa membunuh dan mengejar
ke mana pun mereka menuju, baik ke arah sungai, gunung maupun lembah.
Jumlah pasukan Persia yang terbunuh pada perang ini sebanyak 40.000
tentara. Adapun jumlah pasukan Islam yang gugur sebanyak 2.500 tentara.
Itulah para mujahidin sejati yang berupaya menaati Allah subhanahu wa
ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka sibuk
memperbaiki anak panah dan meruncingkan ujung tombak. Barisan ksatria
yang selalu bergemuruh membaca Al-Qur’an ketika malam tiba. Adapun di
siang hari, mereka adalah para penunggang kuda yang tangguh tak
terkalahkan. Berjuang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan ikhlas mengharap ridho Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga
Allah subhanahu wa ta’ala turunkan pertolongan untuk mereka dan memberi
mereka kemenangan. Walhamdulillah.
sumber: buletin-alilmu.com